KRITIK SOSIAL: Penyair Nano L. Basuki tengah membacakan puisi di Taman Budaya.ISTIMEWA |
Pembacaan Puisi 30 Penyair di Taman Budaya
Sebanyak 30 penyair silih berganti membacakan puisi di Taman Budaya, kemarin. Melalui puisi, berbagai kritik sosial mereka sampaikan, mulai dari korupsi hingga persoalan lingkungan. Ada semangat untuk membangkitkan gairah sastra di Pontianak.
HERIYANTO, Pontianak
SIANG kemarin menjadi hari yang begitu sibuk bagi Nano L Basuki, seorang pegiat sastra di Pontianak. Dia mondar-mandir untuk mengecek para penyair yang akan membacakan puisi pada siang itu. Wajahnya dipenuhi peluh. Pakaiannya awut-awutan. Tangannya memegang sebuah kertas. Isinya daftar nama para penyair yang akan tampil.
Setelah semuanya siap, dia naik ke atas panggung, mengambil mikrofon, dan memberi kata pengantar. “Kami sengaja menodong teman-teman untuk membacakan puisi hari ini. Terimakasih pada rekan-rekan yang sudah meluangkan waktu,” kata Nano saat memberikan pengantar.
Nano lalu membaca beberapa bait puisi sebagai pembuka. Judulnya: Kulahirkan Sajak dari Benih Perbatasan. Ada kegelisahan yang hendak disampaikan Nano pada sajaknya itu. Kegelisahan tentang kondisi perbatasan yang tak kunjung membaik. “Pagi sejuk pertemukan aku dengan sekelompok muda di garis batas negara. Dengan bekal tas menempel di punggung, kaki-kaki mereka berkabar tentang masa depan di negara tetangga,” begitu bunyi sajak pembuka yang dibacakan Nano dengan mimik serius itu.
Dia lalu melanjutkan sajaknya: “Apa yang bisa kami harap dari tanah air kami yang dari hari merdeka dulu hanya tinggalkan sebutik bendera yang tak lagi memerah dan memutih.”Sajak tentang perbatasan hanyalah satu dari puluhan sajak yang dibacakan siang itu. Para penyair yang diiringi petikan gitar membaca satu persatu sajak dengan beragam pesan.
Tentu tidak hanya sajak tentang perbatasan yang dibacakan siang itu. Ada sejumlah sajak lain, yang juga berisi berbagai kritik, mengenai berbagai persoalan yang mencuat belakangan ini, baik di tingkat lokal maupun nasional. Ada satu puisi yang dibacakan secara atraktif oleh seorang penyair bernama Ilham. Judulnya, Media Lara. Puisi ini berisi kritik mengenai korupsi yang telah menggurita di negeri ini. Petikan gitar mengiringi pembacaan puisi dengan gaya monolog ini.
“Cuih. Kubaca-baca kata pada lembar berita. Tampaknya media terangsang oleh cerita, tentang koruptor yang merengguk kas negara. Tak lihatkah saudara, korupsi menjadi artis Indonesia. Lebih bahenol ketimbang Luna Maya, lebih seksi dari Maria Osawa, lebih populer dari Agnes Monika,” Ilham membacakan sajak karya Nano L Basuki itu dengan lantang.
Dia lantas melanjutkan. “Anak-anak membicarakannya, para remaja memperbincangkannya, orangtuapun tak kalah seru menggosipkannya. Biar belum tentu benar jadi terpidana. Cuih! Korupsi lebih eksis dari seni dan budaya.”Menurut Nano, persoalan korupsi memang sudah merasuk jauh ke berbagai institusi di negeri ini. Media setiap hari menjadikan berita korupsi di halaman muka, yang menandakan perilaku koruptif tak habis-habisnya di negeri ini.
“Tapi nyatanya, koruptor seolah merajalela, korupsi semakin menggejala, patah tumbuh hilang berganti, satu dibui yang lain makin jadi. Ayolah saudara, sembuhkan media yang lara. Bangkitkan kembali marwah seni budaya. Lawan korupsi dengan gerakan budaya.” Pembacaan puisi yang dimulai sekitar pukul 14.30 itu tidak hanya diisi pembacaan puisi secara konvensional. Sejumlah puisi dibacakan dengan sejumlah kreasi, baik iringan musik maupun dramatisasi melalui lakon teatrikal.
Menurut Nano, pembacaan puisi ini memang dihelat secara sederhana. Mereka penyair yang diundang juga tak harus mempersiapkan penampilan dalam waktu lama. “Pembacaan puisi ini sebagai ajang silaturahmi antar penulis. Supaya ada gesekan kreativitas dan persaingan ide. Ke depan kita coba bersinergi untuk menyampaikan pesan perubahan melalui puisi,” jelas Nano.
Sejumlah sanggar teater juga dilibatkan, sebut saja rumah teater dan sarang semut. Mereka menampilkan atraksi yang cukup memikat. Ridwan, salah seorang penonton, mengatakan sangat mengapresiasi pembacaan puisi ini. “Saya sudah lama tak menonton pembacaan puisi ini. Ini jadi pengingat masa-masa sekolah,” katanya. (*)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !